Friday, August 3, 2012

Tuhan Dan Pewayangan

Wayang Kulit ( Shadow Puppet ) 

Sudamala, etos kerja dan namasmaranam, paling tidak itulah makna yang dapat dipetik dalam pementasan wayang kulit tradisi duta Gianyar, yang tampil di wantilan Taman Budaya, 15 Juni lalu. Sanggar Suara Murti yang menampilkan dalang I Made Juanda dari Sukawati Gianyar itu menyuguhkan lakon Katundung Hanoman.

Pertunjukan yang berdurasi sekitar 150 menit itu diawali dengan pertemuan Rama, Laksmana dan Sugriwa. Dalam pertemuan itu, Rama mengatakan bahwa Hanoman menolak hadiah sebagai balas jasa ikut memerangi Rahwana.

Dalam cerita dituturkan, seusai perang, Rama membagi-bagi hadiah kepada para pahlawan kera yang sangat berjasa dalam perang di Alengka. Hadiah itu tidak tanggung-tanggung. Masing-masing kera menerima bidadari dari kahyangan yang cantiknya mungkin melebihi para selebritis di dunia ini.

Tapi khusus untuk Hanoman, bukan bidadari yang diberi sebagaia hadiah, melainkan kalung emas Dewi Sita. Kalung itu, dari segi harga mungkin tidak mahal, tapi memiliki nilai historis yang tidak ternilai. Kalung itu adalah mas kawin Rama, saat putri dari Matili itu menikah dengan putra mahkota Ayodhya.

Sikap Hanoman yang menolak hadiah itu ternyata disalahtafsirkan oleh Sugriwa. Sebagai paman Hanoman, Sugriwa mohon maaf kepada Rama atas sikap keponakannya yang dinilai tidak hormat itu. Sugriwa tak bisa memaafkan Hanoman, dan keponakannya itu pun diusir dari komunitas kera, setelah sempat disiksa.

Hanoman yang melakukan perlawanan kepada Sugriwa segera pergi entah kemana. Dalam perjalanannya, putra Dewi Hanjani itu mengubah dirinya menjadi raksasa dengan nama Kalapetak. Secara tak sengaja ia bertemu dengan raksasa bernama Kumbapranawa. Rakasa itu hendak menyerang Rama, karena ingin membalas dendam atas kematian Kumbakarna, gurunya.

Kalapetak pun sepakat bergabung dengan Kumbapranawa. Mereka sama-sama menyerang Rama. Dalam perang itu, Kumbapranawa gugur. Tapi Kalapetak tak bisa dikalahkan oleh pasukan kera. Rama pun kemudian turun tangan. Tapi ia tidak melepaskan senjata, melainkan sarana pemunah segala kekotoran. Sarana yang dilambangkan kayonan itu bisa mengubah Kalapetak ke wujudnya semula sehingga menjadi Hanoman kembali.

Sebagai abdi yang baik, tentu saja Hanoman segera menyembah Rama. Ia segera mohon maaf dan menyatakan bahagia mendapat sarana pemunah kekotoran itu. Kemudian Hanoman menjelaskan, mengapa menolak hadiah kalung emas, tiada lain karena ia bekerja tanpa pamrih, tanpa mengharapkan imbalan balas jasa berupa harta benda yang sifatnya duniawi. Yang ia inginkan adalah, diri Rama manunggal dengan dirinya. Dengan demikian, dimanapun dan kapanpun Hanoman selalu dapat mengingat Rama yang tak lain penjelmaan Wisnu di dunia ini. Dalam bahasa Sansekerta, mengingat dan menyebut nama Tuhan berulang-ulang disebut namasmaranam. Atas permintaan itu, Rama berkenan bersemayam dalam padma hredaya (hati) Hanoman.

Lakon yang disuguhkan Juanda itu, rupanya sudah diimbuhi kawidalang (karangan dalang) dari cerita sumbernya. Dalam versi India (yang dianggap sebagai sumber cerita Ramayana), Hanoman tidak pernah diceritakan diusir oleh Sugriwa akibat penolakan hadiah kalung emas itu. Hanoman diceritakan membuka dadanya dan yang masuk ke padma hredayanya adalah Rama dan Sita. Demikian pula tak pernah diceritakan, murid Kumbakarna bernama Kumbapranawa membalas dendam. Tokoh itu, rupanya hasil karangan dalang.

Kawi dalang itu sah-sah saja, karena memang tidak merusak babon cerita. Penambahan itu mungkin saja dilakukan untuk memperkaya cerita dan menambah unsur-unsur dramatis sehingga dapat memancing emosi pendengar atau penonton. Apa yang diperoleh Hanoman, rupanya itulah hadiah yang tertinggi. Tidak ada hadiah yang lebih tinggi lagi selain dapat mengenang nama Tuhan tiap hembusan nafas.

Akan tetapi untuk dapat mencapai hal yang luar biasa dan istimewa itu, diperlukan usaha spiritual (sadhana) yang luar biasa pula. Bentuk sadhana itu adalah pengabdian yang tulus ikhlas. Pengabdian yang tulus ikhlas antara lain baru bisa dilakukan setelah berhasil mengubah sifat keraksasaan menjadi sifat kemanusiaan. Sifat kemanusiaan itu juga diubah menjadi sifat kedewataan. Dengan adanya sifat kedewataan itulah, maka akan menunggal dengan dewata. Dalam istilah Jawa, manunggalaning kawula lan Gusti.

Artikel Terkait



No comments:

Post a Comment

Tentang Jiwaku

My photo
Republik Gelap mencoba menggambarkan (Menjelaskan) tentang sisi lain dari kehidupan, Hitam bukan selalu Buruk, Dan Putih bukan selalu Baik. Di Blog ini Aku coba gambarkan tentang sebuah perasaan yang muncul pada suatu waktu, berupa tulisan, puisi atau cerita dalam bentuk wayang. Apabila ada kata yang dirasa kurang enak hal ini karena aku berusaha mengungkapkan seadanya, tanpa ditutupi.